Budidaya Padi: Panduan Praktis

Berbicara Sendiri

Foto: Jessie Leong (flickr)

Aku berdiri di depan kaca. Samar-samar bertatapan dengan bayanganku di sana. Sesekali aku menampar pipiku sendiri, berusaha menyadarkan diri, atau sekadar berusaha  memastikan apa yang sedang aku alami bukanlah mimpi.

Aku ingat betul bagaimana 300 orang bangsa Sparta menaklukkan ribuan pasukan Persia. Scene bagaimana Frodo Baggins menaklukkan Mordor masih terpatri jelas di memori. Atau cerita selucu Hiccup menjinakkan Night Fury pun bisa dengan dengan lancar aku kisahkan. Namun ini bukan tentang sebuah kolosal, hal-hal berbau legenda, ataupun cerita tentang naga. Ini adalah sesuatu yang lebih nyata. Tentang aku melawan diriku sendiri. Bagaimana aku meruntuhkan ego, menumbangkan prasangka, dan berusaha menundukkan harapan-harapan dalam diri sendiri.

Aku masih melihat sosok di depan kaca. Kali ini, sesekali mengernyitkan dahi. Nggak habis pikir apa yang sedang aku pikirkan. Ada kekalutan yang aku rasakan.

Aku nggak suka jatuh cinta.

Jatuh cinta membuatku menganggap sesuatu yang mungkin aja bukan buat aku, adalah buat aku. Begitu melelahkan menebak-nebak sesuatu yang ingin sekali dipastikan, namun nggak cukup punya ruang untuk memastikan.

Jatuh cinta membuatku seringkali melakukan apa yang seharusnya nggak aku lakukan. Perbuatan-perbuatan bodoh, yang sok-sokan spontanitas, tapi seringnya merusak keadaan.

Jatuh cinta membuat aku berkali-kali melakukan hal di luar akal sehat. Sesuatu yang tadinya nggak pernah terpikirkan untuk bisa aku lakukan. Jadi orang nekat. Jadi orang gila. Kehilangan logika.

Tapi aku adalah laki-laki. Aku harus tetap menggunakan logika.

Kadang cara terbaik untuk menghindari sakit hati,… adalah dengan menyakiti hati itu duluan, oleh diri sendiri. Cara terbaik untuk terbebas dari kekecewaan,… adalah dengan membunuh harapan-harapan dalam diri dengan tangan sendiri. Cara terbaik untuk bisa tetap waras,… adalah dengan berusaha mendamaikan logika dan hati.

Di sisi lain, Aku nggak cukup tega untuk melakukan itu semua. Dan mendamaikan logika dengan hati? Bukan perkara mudah.

Pada akhirnya, aku coba berteriak tapi tak terdengar, berbisik tapi tak lirih, dan bergeming tapi terlalu gaduh. Pada diri sendiri. Cuma berusaha mengendalikan apa yang menjadi asumsi, memberikan sugesti, dengan mengatakan,

Bahwa kamu sedang tidak berusaha membuat orang lain menjadi kekasihmu, ataupun mau untuk hidup bersamamu. Mau atau tidaknya dia untuk sama kamu? Itu belakangan. Kamu cukup hanya mencoba membuatnya jatuh cinta. Kamu cuma bisa berusaha menjadi tempat yang nyaman, tempat bersandar, yang tetap menjadi dirimu sendiri, bukan orang lain. Kali ini, kamu sedang berusaha membuatnya jatuh cinta. Dan jika ternyata dia sudah jatuh cinta? TERUSLAH BUAT DIA JATUH CINTA LAGI! JANGAN BERHENTI. Dan apabila dia bersama yang lain bukan sama kamu, ITU BUKAN BERARTI SEBUAH AKHIR! JANGAN BERHENTIPerjuangan kali ini berbeda. Ini semua bukan cuma tentang siapa yang terbaik, bukan pula tentang siapa yang paling menjanjikan. Tapi ini semua tentang siapa yang paling tulus, dan tidak menyerah meski terlihat bodoh.

Aku menampar diriku sekali lagi. Memejamkan mata. Nggak ada lagi sosok angkuh, pesimis, optimis, ataupun realistis. Cuma sesosok manusia yang akan berusaha melakukan apa pun setulusnya.

Good thing comes to those who wait, then better thing comes to those who chase it, and the best thing comes to those who fight for it.

Semoga.

Komentar