- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Aku
sudah lengkap dengan jas hujan, bahkan celana jeans panjang sudah digulung.
Langit sore waktu itu lebih kelabu dari pasangan LDR (Long Distance
Relationship) yang udah kangen karena lama gak ketemu tapi pas ketemu malah
diputusin. Aku melaju melanjutkan perjalanan sambil senyam-senyum karena kali
ini mengalahkan siapnya seorang ojek payung dalam mengantisipasi terpaan air
yang bakal turun dari langit.
Tujuh
menit, 15 menit, setengah jam berlalu. Hujan tak kunjung datang. Aku sedikit
manyun, kemudian menepi ke sebuah halte untuk melepas dan melipat jas hujan
yang aku kenakan. Pada saat aku hendak memasukkan jas hujan yang sudah terlipat
rapi ke bawah jok motor, terdengar dua remaja yang mengeluhkan cuaca hari itu.
“Langitnya PHP nih,” ujar salah satu dari mereka.
“Dem.
Gue kegeeran.” Perjalanan sore itu selanjutnya aku habiskan dengan berpikir.
Coba kalau tadi aku nggak mengharapkan hujan. Coba kalau aku tadi nggak sotoy
sama langit. Coba kalau tadi aku gak dengan cepat menyimpulkan bahwa mendung
berarti akan turun hujan.
Hal
seperti di atas memang kedengarannya rada-rada benar. Kita lebih suka
menyalahkan keadaan yang memang nggak pasti, dibanding menyalahkan otak (atau
mungkin hati) yang sotoy menyimpulkan yang pasti terjadi. Misalnya seperti
ketika ada orang yang hadir dalam hidup kamu. Dia datang dengan segala
kelengkapannya, mengisi kekosongan-kekosongan yang kebetulan kamu inginkan,
selalu ada buat kamu, dan kebetulan pula teman-temanmu menyangka kalian sudah
jadian. Namun semua fakta tadi tetap gak bisa buat menyimpulkan bahwa dia pasti
suka sama kamu.
Pengharapan
itu membebankan.
Ketika
kamu berharap, kamu membebankan suatu hal yang tidak pasti pada hati. Dan tau
apa yang terasa kalau itu tak terjadi? Kecewa hati.
Kadang
menyimpulkan seperti tadi cuma penyangkalan diri aja. Sebenernya kamu yang suka
dia, karena deket. Di sisi lain, kamu juga gak siap menerima fakta kalau
perasaan kamu gak berbalas. Dari situ kamu menyangkal.
Kejadian
kayak gini sih biasanya disebut PHP (Pemberian Harapan Palsu). Nah, coba
dipikir lagi. Siapa yang sebenarnya melakukan PHP? Dia, atau diri kamu sendiri
yang memberikan harapan pada hati dengan menerjemahkan kebaikan adalah harapan?
Anggap
saja memang benar kamu nggak kegeeran, dan memang benar dia PHP. Kalo
keadaannya seperti itu, emang apa yang bisa kamu lakukan? Minta kepastian? Atau
langsung pergi sekalian? Tanya diri kamu kalimat ini, “Emang bisa? Emang
berani?”
Sebenarnya
dengan kamu berdiam diri, kamu udah mengizinkan dia dan diri kamu sendiri jadi
PHP. Pemberi, dan Penikmat Harapan Palsu.
PHP
itu emang jodoh banget sama yang diem dan gak berani ngambil sikap (entah itu
nagih kepastian, atau pergi sekalian). Semakin kamu diam, semakin betah dia
PHP.
Kita
abaikan orang yang PHP, karena apa yang dilakukannya itu emang jahat buat kamu.
Tapi yang perlu diperhatikan, kenapa kamu diem aja dijahatin? Banyak alasan
yang dikeluarkan orang yang nggak mau nagih kepastian. Biasanya alasannya
karena cewek, gengsi, malu, takut disangka kegeeran.
Sering
kali, manusialah yang memperumit masalahnya sendiri.
Tinggal
pilih, jadi korban PHP terus, nagih kepastian, atau pergi sekalian. Jangan
salahin dia PHP terus kalo minta kepastian atau pergi sekalian aja gak berani.
Komentar
Posting Komentar