- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Senangnya bisa kembali ke secarik kertas ini.
Kertas digital yang selalu menjadi cawan yang kemudian kutuangi ide, cerita,
atau sekadar curahan hati alam bawah sadar.
Terkadang, sebenarnya bukan terkadang, tapi
selalu, aku selalu heran ketika suatu rencana yang dibuat manusia bisa hancur
begitu saja oleh makhluk bernama ‘takdir’. Aku pernah mendengar sebuah
pernyataan dari seorang dosen berbunyi ‘semua yang terjadi pada kita 80% adalah
akibat perbuatan kita, 18% kondisi, dan 2% sisanya adalah takdir’. Jika dikaji
lebih dalam, persentase tadi sebenarnya seimbang karena masing-masing pengaruh
materi sesuai dengan kekuatannya. Biasanya kita baru memperhatikan komposisi ini
ketika keadaan tak sesuai dengan yang kita inginkan. Dan ‘takdir’, sebagai
persentase terkecil selalu menjadi kambing hitam paling empuk, jika kita sudah
tak bisa lagi menyalahkan kondisi dan perbuatan kita sebagai persentase yang
lebih besar.
“Nila setitik, rusak susu sebelanga,” peribahasa
yang bisa aku ambil untuk masalah ini. Keburukan selalu lebih kuat dari
kebaikan. Namun kebaikan selalu jadi pemenangnya, bukan?
Takdir, dengan persentase yang begitu rendah,
bisa menjadi faktor kuat pengubah kejadian. Kita pasti menyadari itu ketika
keadaan tak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Bagaimana mungkin hanya
dengan sedikit sentuhan takdir, rencana yang hampir sempurna sekali pun bisa
porak-poranda? Itulah mengapa kubilang takdir itu kuat. Dengan pengaruhnya yang
begitu besar, lalu, apakah kita bisa bilang takdir jahat? Jika tidak, mengapa
pengaruhnya begitu besar seperti nila pada susu? Jika ya, bukankah seharusnya
kebaikan yang jadi pemenangnya? Istilah ‘takdir’ diciptakan hanya agar manusia
bisa menerima apa yang tak bisa dikehendakinya. Tepatnya, agar manusia punya
sesuatu untuk disalahkan pada akhirnya jika kehendaknya tak terlaksana.
Takdir, juga yang mempertemukan kita,
menghubungkan getaran-getaran yang pada awalnya tak terdeskripsikan, getaran
yang seolah berkata “aku butuh kamu”. Hingga kita merumuskan rasa itu menjadi
sebuah kebutuhan. Rasa butuh yang biasa orang sebut “sayang”. Pernah kita
mengklaim diri kita tak akan berarti tanpa orang yang memenuhi kebutuhan kita.
Namun pada akhirnya, kita membutuhkan orang yang paling membutuhkan kita.
Sepasang kekasih tak mungkin lagi bisa bersama
kalau di antara mereka sudah tak lagi saling membutuhkan. Memang terkesan
‘memanfaatkan’, tapi itu memang sifat dasar manusia, ingin kebutuhannya
dipenuhi, yang ujung-ujungnya agar merasa bahagia.
Seseorang yang membutuhkan kita bukanlah orang
yang memanfaatkan kita, karena memanfaatkan berarti mengambil keuntungan dari
seseorang yang sebenarnya tak terlalu kita butuhkan. Ketika menemui seseorang
yang membutuhkan kita, secara langsung atau tidak, kita akan membutuhkan mereka
juga. Karena tak ada artinya kelebihan kalau tak ada tempat untuk
menuangkannya, seperti cintaku yang berlebih ini, kepadamu.
Menemukan seseorang yang kita butuhkan itu
seperti menemukan rumah yang selama ini kita cari saat kita tersesat, karena
rumah adalah tempat yang paling kita butuhkan. Kita selalu merasa aman, nyaman,
tenang ketika berada di rumah. “Rumahku istanaku” terbukti bukan ungkapan omong
kosong.
Pada akhirnya, kita membutuhkan orang yang ketika
kita menatapnya, kita merasa seperti di rumah.
Everytime I look at you, I’m home :)
Dan itu bukan karena perbuatanku, kondisi,
ataupun takdir, melainkan ketiganya.
Komentar
Posting Komentar